Perkembangan demokrasi di Indonesia kini sedang berada di titik yang menentukan. Perkembangan teknologi mempengaruhi bagaimana interaksi antara pemerintah dengan masyarakatnya. Perbedaan yang sangat mencolok terjadi ketika dunia memasuki era di mana kita dapat mempublikasikan gagasan kita sendiri tanpa perantara agensi berita.
Di era Orde Baru, Televisi Republik Indonesia (TVRI) memliki peran penting untuk menjembatani doktrin pemerintah. Kanal televisi yang dikelola oleh pemerintah ini selalu menayangkan tentang perkembangan pembangunan Indonesia. Hingga tahun 1989, TVRI memonopoli frekuensi siaran televisi.
Bahkan ketika media swasta mulai memasuki frekuensi publik, siaran pemerintah harus tetap ditayangkan di kanal mereka. Kanal TV seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTeve dan Indosiar diwajibkan untuk memutar ulang tayangan program Dunia Dalam Berita, berita yang disiarkan TVRI. Berita tersebut diputar serentak di semua kanal TV pada pukul 21:00 hingga 21:30.
Intervensi pemerintah dalam penyiaran ini dicabut disertai oleh tumbangnya Orde Baru. Walaupun kanal TVRI dan program Dunia Dalam Berita masih ada, kanal televisi swasta tidak perlu menayangkan program tersebut lagi di jam tayang utama.
Di millennium baru ini, masyarakat kelas menengah Indonesia mulai meninggalkan televisi dan menikmati media berbasis internet. Perubahan kepemimpinan dari yang bergaya otoriter hingga yang demokratis mempengaruhi penggunaan media oleh pemerintah. Jika Presiden Soeharto menjadi bintang utama dalam Dunia Dalam Berita, maka Presiden Joko Widodo menjadi bintang utama … di kanal YouTube dia sendiri! Presiden Joko Widodo memiliki kanal YouTube yang hingga saat ini mencapai 340 ribu. Berbeda dengan periode sebelumnya, pemerintah saat ini sangat sadar akan pentingnya media sosial dan memanfaatkannya dengan maksimal.
Tentu saja ini merupakan berita bagus. Akhirnya kita bertransformasi dari media yang tersentralisasi menuju ke media yang terbuka. Iklim demokrasi tercipta dengan dibukanya kemungkinan bagi orang lain untuk memberikan komentar. Berbeda dengan jaman Orde Baru di mana represi terhadap kebebasan berpendapat sangat terasa, kini kita dengan mudah dapat menyampaikan opini melalui kolom komentar atua bahkan melalui media mandiri seperti blog.
Namun, jangan lupa dengan batasan-batasan yang dimiliki oleh media. Televisi menyampaikan informasi dengan satu arah. Batasan ini tidak memberikan kesempatan bagi penonton untuk berinteraksi kepada pemberi informasi dan menyampaikan tanggapannya.
Berbeda dengan televisi, media sosial memberikan kesempatan bagi para penonton untuk berinteraksi dengan pembuat konten. Walaupun belum tentu Biro Pers Presiden membaca semua komentar dan pesan yang diterima, tapi setidaknya medium ini memberikan kesempatan untuk melakukan hal tersebut.
Jika medium adalah pesan itu sendiri, lalu apa yang ia sampaikan?
Model interaksi dalam internet memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk berbicara. Ketika semua orang dapat berinteraksi dan bertukar pikiran, perdebatan akan tercipta. Secara teori, hal ini akan mendukung iklim demokrasi yang sehat. Namun pada akhirnya, keterbukaan komunikasi malah mengancam ideologi yang dibawa dan disampaikan oleh pemerintah.
Semenjak Era Reformasi, kebebasan berekspresi di Indonesia semakin meningkat. Media tidak lagi terancam akan pembredelan atau penyensoran. Masalahnya, ideologi yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila pun semakin tampak di permukaan. Dan bisa dibilang, ini sudah di luar kendali.
Untuk menelusuri pertempuran ideologi ini, kita harus melihat sejarah Marxisme dan Khilafah di Indonesia. Kedua ideologi ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Beberapa kali diskusi publik yang membahas tentang Marxisme terpaksa dibubarkan oleh aparat. Hal ini terkait dengan trauma yang diciptakan pada masa Orde Baru di mana penayangan film tentang gerakan komunisme di Indonesia merupakan hal yang wajib setiap tahun.
Berbeda dengan Marxisme, ideologi Khilafah mulai menyebar di Indonesia semenjak tumbangnya Orde Baru. Ide mereka tersebar dengan sangat cepat dan rapi baik melalui online dan offline. Tapi pada akhirnya, nasib mereka sama. Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi yang mendukung ideologi ini, akhirnya dibubarkan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Perpu Ormas Tahun 2017.
Pada akhirnya, kebebasan berpendapat dan mengemukakan ide ini harus dikendalikan. Pemerintah Indonesia menunjukkan kekuatannya melalui aparat negara dengan melakukan pembubaran. Baru-baru ini, Menteri Komunikasi dan Informasi mengancam akan melakukan penutupan akses ke beberapa sosial media untuk memerangi gerakan teroris.
Apakah tindakan ini tepat sasaran? Untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia di ranah digital, menurut saya sangat tepat. Pemerintah patut menjaga ideologi yang dimilikinya.
Namun, apakah itu akan berhasil? Tidak.
Saya yakin ketika ide direpresi, dia akan bertindak seperti pegas. Pada suatu saat, dia akan berada di titik balik di mana dia akan melontarkan tekanan yang dia rasakan. Tanpa terlihat, penyebaran ideologi yang ‘anti Pancasila’ ini akan tersebar di warung-warung kopi dan masjid-masjid kecil. Ide ini tidak termanifestasi sebagai organisasi yang solid, namun tumbuh di pikiran-pikiran orang yang meyakininya.
Jadi, kebijakan untuk menghentikan ideologi yang tidak diinginkan dengan cara pembubaran dan penyensoran media bukanlah hal yang tepat. Gagasan haruslah dilawan dengan gagasan. Debat terbuka baik itu di ranah akademis maupun politis akan menjadi solusi dialektis untuk mendapatkan jawaban terbaik.
Praktiknya tentu tidak akan mudah. Dengan algoritma media sosial yang dimodifikasi oleh aspek-aspek seperti buzzer bayaran dan optimisasi mesin pencari, penggiringan opini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik modal. Kita berada di jaman pasca-kebenaran di mana informasi dapat dikonstruksi sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu.
Sebagai rakyat Indonesia, kita pun harus bisa mempertahankan relevansi nilai-nilai Pancasila di kehidupan kita. Musuh kita adalah disinformasi masif dan ketidakmelekan dalam mengelola informasi yang benar. Demokrasi yang kita junjung sedang dalam tes menuju kedewasaan. Jika berhasil melewati tes ini, saya yakin Indonesia akan lebih baik.
—
Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia. Semoga kemerdekaan yang Tuhan berikan tidak sia-sia dan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
*
The development of Indonesian democracy is facing unprecedented challenges with technological advancement affecting interactions between the government and the people. This is particularly striking with regard to the broader modern world, in which we can publish our own ideas without news agency intermediaries.
In the New Order era (the era under second Indonesian President Soeharto), for example, Televisi Republik Indonesia (TVRI) played an important role in conveying the government’s doctrine. The television channel, managed by the Indonesian government, regularly broadcasted reports of Indonesia’s development. Indeed, until 1989, TVRI monopolised television-broadcasting frequency.
Even when the private media gained access to the public frequency, the government required that these private channels air government programs alongside their own material. TV channels like RCTI, SCTV, TPI, ANTeve and Indosiar were required to broadcast Dunia Dalam Berita (World in News), a program created by TVRI. The program was aired simultaneously on all Indonesian channels from 9 pm until 9.30 pm.
The government’s intervention in broadcasting domain was revoked upon the New Order era ending. Subsequently, although the TVRI channel and World in News program still existed, private channels had no obligation to broadcast their programs at prime times.
In this new millennium, middle-class Indonesians are beginning to eschew television in favour of internet-based media. Leadership changes from an authoritarian style to a democratic one also affects the use of media by the government. In the same way President Soeharto was the main star on World in News, President Joko Widodo could become the main star… on his own YouTube channel! Indeed, President Jokowi’s YouTube channel has 340k subscribers. In contrast with former times, the current presiding government is fully aware of the importance of social media and how to utilise it maximally.
Naturally, this is good news: Indonesia is finally moving from centralised media to more open media. A democratic environment can consequently be fostered through the possibility of the Indonesian people being able to share their thoughts. In contrast with the New Order era, when the repression of Indonesians’ rights to freedom of expression was tangible, it is now possible to share opinions with ease. This can be either through comment sections, for example, or even a self-publishing platform like a blog.
Nevertheless, we cannot deny there exist limitations within certain forms of media. Television conveys one-way information to the viewer, for example; the viewer is unable to interact and participate with the information’s producer.
Social media, on the other hand, gives a chance to the viewer to interact with the content’s creator. Although it can’t be known whether the Presidential Press Bureau reads all the comments and messages it receives, at least the online medium allows people to send them.
Yet what if the medium is the message itself – what does it convey?
The Internet’s interactive element gives every individual a chance to speak. This is a positive development, for if everyone can interact and share their thoughts, the possibility for rich debates is greater. Theoretically, this will entail a healthy democracy. Nevertheless, this kind of open communication also threatens the ideology espoused and propagated by the government itself.
After the Reformation Era, freedom of expression in Indonesia has sky-rocketed. Media is no longer threatened by fear of banning and censorship. A new problem, however, is that ideologies which are considered against Pancasila, the sacrosanct national ideology, become apparent. And I can attest that this has grown out of control.
To trace these ideological battles, we need to look briefly at the history of Marxism and Caliphacy in Indonesia. These ideologies are two prominent ideologies incompatible with Pancasila. Public talks discussing Marxism, for example, are often censored. This happens because Indonesians are still traumatised by the depiction of the communist movement in the New Order era. Indeed, a gore film is broadcasted annually to commemorate Indonesia’s most controversial tragedy, the 1965 Tragedy, and remains extremely distressing to watch.
Different from Marxism, the notion of Caliphacy began to spread rapidly after the decline of New Order. Their ideas quickly become viral both online and offline. Yet they ultimately still proved flawed and problematic, falling into the same hole as their predecessors. Hizbut Tahrir Indonesia, the organisation which supports Caliphacy, was even recently banned by the government through the Government Regulation of Community Organisation Year 2017.
Ultimately, the Indonesian Government decided freedom of expression needed to be controlled. In a show of power, the government manipulated its power and began to impose bans. Recently, for example, the Minister of Communication and Information has threatened to ban access to certain social media platforms in an attempt to combat underground terrorist movements.
Is this action appropriate? To show Indonesia’s sovereignty in the digital media sphere, such a decision makes sense for the government. Of course they need to sustain their own ideology.
But will it work? Unlikely.
I believe that when an idea is repressed, it will act like a trapped spring. Pressure builds up until tension reaches a peak point, and then all the repressed energy suddenly bursts out. Take the spread of “anti-Pancasila” ideology: it moves invisibly, ending up in coffee shop discussions and small mosques. These ideas do not manifest as part of a concrete organisation, but they grow in the minds of people who believe in them.
To attempt to halt unwanted ideology through media censorship and bans is consequently not a practical policy choice. We need to fight ideas with ideas. Open debate, whether in academic or political domain, will be a dialectical solution for getting the best output.
Putting this into practice will not be easy. Through modifications of social media algorithms, such as the use of paid buzzer and search engine optimisations, our opinions are easily constructed by those who have money. We are in the post-truth era where information can be constructed in such a way for the political purposes du jour.
As Indonesian people, therefore, we need to retain the relevance of Pancasila values in our lives. Our enemies are those of massive disinformation and illiteracy in managing what genuine information we do have. The democracy we hold is currently being tested as it moves towards its maturity. If we succeed, however, Indonesia has the potential to be a better and freer nation.
—
As a closing note, I would like to wish a Happy 72nd Independence Day to the Republic of Indonesia. I hope the freedom that God gives is not in vain, and that it can be enjoyed by all Indonesian people.
We acknowledge the Ngunnawal and Ngambri people, who are the Traditional Custodians of the land on which Woroni, Woroni Radio and Woroni TV are created, edited, published, printed and distributed. We pay our respects to Elders past and present. We acknowledge that the name Woroni was taken from the Wadi Wadi Nation without permission, and we are striving to do better for future reconciliation.